Oleh Chaidir
SIAPAPUN yang memiliki kepedulian terhadap masa depan Riau, pasti terusik dengan isu APBD Riau 2025 tekor atau defisit 1,3 Triliun, seperti terbaca dalam beberapa WA Groups. Benarkah? Mari kita cermati agar tidak salah kaprah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan Peraturan Daerah.
RAPBD (Rancangan APBD) Riau 2025 belum disahkan oleh DPRD Provinsi Riau menjadi APBD Riau 2025. Tahapnya sekarang sedang dibahas oleh Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Riau bersama TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) yang diketuai oleh Sekda Prov Riau. Setelah pembahasan final, baru dibawa ke Rapat Paripurna DPRD Provinsi Riau, untuk ketok palu alias disahkan.
Selanjutnya APBD yang sudah disetujui DPRD Riau tersebut dibawa ke Kemendagri untuk evaluasi dan verifikasi. Paling lambat dua pekan verifikasi selesai, dengan beberapa catatan. APBD yang telah diverifikasi Kemendagri tersebut dibawa kembali ke Rapat Parpurna DPRD untuk menyampaikan catatan-catatan yang diberikan Kemendagri. Kemudian barulah Gubernur menetapkan APBD tersebut menjadi Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang APBD Provinsi Riau 2025. Pembahasan Banggar dan TAPD serta Rapat Paripurna DPRD diatur sudah selesai paling lambat akhir November, sehingga pada bulan Desember cukup waktu untuk verifikasi di Kemendagri.
Jadi, gerangan dari mana kesimpulan APBD Riau 2025 tekor atau defisit 1,3T? Pembahasan di DPRD Provinsi Riau saja belum selesai. DPRD dan TAPD memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan yang harus dipedomani dalam pembahasan RAPBD, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran; PerMenKeu Nomor 83 Tahun 2023 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran. Dalam PerMenKeu Nomor 83 Tahun 2023 ini diatur, batas maksimal defisit APBD tahun anggaran 2024 ditetapkan berdasarkan kategori Kapasitas Fiskal Daerah.
Dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kita mengenal sistem Anggaran Berimbang dan Angaran Tak Berimbang. Dalam paradigma lama, APBD harus menganut asas Anggaran Berimbang (balanced budget). Artinya, rencana jumlah anggaran pendapatan sama besarnya dengan rencana jumlah anggaran pengeluaran. Dengan kata lain, tidak ada defisit atau surplus anggaran. Anggaran berimbang dianggap sebagai pendekatan yang aman dan konservatif. Namun, umum diketahui, dalam paradigma anggaran berimbang tersebut, pihak pemerintah daerah (dulu ujung tombaknya, Dinas Pendapatan Daerah), sering membuat target penerimaan daerah lebih rendah dari kemampuan sesungguhnya. Kenaikan penerimaannya standar, 10%. Target penerimaan yang rendah ini pasti terlampaui, dan ini menjadi kredit bagus bagi dinas terkait: kinerjanya dinilai bagus dan biasanya diiringi pula dengan bonus.
Sebaliknya, anggaran tidak berimbang (atau anggaran defisit) adalah ketika terdapat ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Ini bisa berarti defisit atau surplus. Anggaran defisit terjadi ketika pengeluaran melebihi pendapatan, sedangkan anggaran surplus menunjukkan kemakmuran finansial suatu negara. Pendekatan ini dianggap lebih berisiko (target tidak tercapai), tetapi dapat memberikan peluang investasi yang lebih besar.
Dalam anggaran tidak berimbang ini, ketika rencana pengeluaran lebih besar dari rencana pendapatan, pemerintah daerah dituntut untuk bisa beradaptasi lebih cepat dalam situasi lingkungan yang berubah cepat. Anggaran defisit berorientasi pada kebutuhan program. Prinsipnya, susun program baik-baik, anggaran bisa dicari untuk mendanainya. Defisit anggaran dapat dibiayai dengan penerimaan pembiayaan, termasuk dalam penerimaan pembiayaan tersebut misalnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, penggunaan dana cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang. Pemda juga harus kreatif meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), antara lain meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah, dan Penerimaan lainnya yang sah.
Dalam paradigma anggaran defisit, Kepala daerah memang dituntut harus berani, kreatif dan inovatif mengejar kebutuhan lebih besar untuk menutup pengeluaran. UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara memperbolehkan anggaran defisit, seperti diatur dalam pasal 12, hanya saja defisit dibatasi maksimal 3 persen terhadap produk domestik bruto atau PDB. Anggaran defisit dibolehkan karena Indonesia negara berkembang, banyak pembangunan yang masih harus dikejar. Singkatnya, defisit anggaran dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena dipaksa mencari investasi dan dana besar untuk pembangunan. Kepala daerah yang APBD minded, hanya mengandalkan APBD, cenderung khawatir dengan anggaran defisit.
Namun sesungguhnya tak perlu khawatir sangat, yang penting kepala daerah mampu menjaga nyala api political will berbagai unsur di daerah termasuk DPRD, berkolaborasi dalam semangat kehendak bersama, desire to be togetherness, kata filsuf Prancis Ernest Reenan. Untuk kepentingan rakyat, tetaplah bergandengan tangan berikhtiar mencari anggaran guna mendanai program yang telah disusun. Paradigma anggaran defisit ini telah menjadi model dimana-mana. Siapa takut?!***
(Penulis Dr. drh. H. Chaidir, MM, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)