Membeli Kucing Dalam Karung

Kamis, 23 Mei 2024 - 15:59:17 WIB

Oleh Chaidir

UNTUK kesekian kalinya kita terperosok dalam lubang yang sama: saling tuding, saling caci, dan bertengkar. Masalahnya? Perkara penunjukan Pj (Penjabat) kepala daerah; baik Pj Gubernur, maupun Pj Walikota atau Pj Bupati. Masing-masing membuat pembenaran, bukan menegakkan kebenaran. Menyita waktu dan energi. Akibatnya, asam lambung naik, gula darah naik, hormon adrenalin meningkat, ujungnya masuk UGD. Kafilah tetap saja berlalu, cuek bebek.

Ada ungkapan, hanya keledai yang terperosok pada lubang yang sama, atau keledai saja tidak akan terperosok pada lubang yang sama. Makna ungkapan pertama, keledai itu bodoh. Makna ungkapan kedua, keledai saja tak bodoh-bodoh amat. Manusia jelas bukan keledai. Manusia itu ciptaan sempurna, mahkota penciptaan Yang Maha Pencipta, mereka diberi kekuasaan tak terbatas sekaligus diberi akal budi untuk mempertanggungjawabkan kekuasaannya, atau mereka akan kehilangan martabat dan posisinya sebagai mahkota penciptaan. (Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, 2001).

Penunjukan Pj membuat banyak pihak senewen. Ibarat membeli kucing dalam karung, harganya mahal (karena menyangkut marwah daerah), tapi tak tahu seperti apa kucing dalam karung tersebut, mungkin kucing hitam, kurapan, atau mungkin kucing garong. Sebenarnya, prosedur pengangkatan Pj itu sudah diatur dalam Permendagri RI Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota. Tapi justru Permendagri inilah pangkal masalahnya. Permendagri ini ambigu (membingungkan), membuat banyak kekecewaan.

Mekanismenya secara ringkas kita pahami, ada aspirasi nama-nama calon Pj dari daerah (DPRD dan Gubernur) yang diajukan ke Mendagri, ada pula nama-nama  masukan dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang diajukan ke Mendagri. Dari sekian nama tersebut, setelah digodok di Kemendagri, Menteri mengusulkan tiga nama ke Presiden. Presiden menunjuk satu nama dan Mendagri kemudian menerbit SK pengangkatan. Selesai. Final.

Kita cermati, dimana letak ambigunya. Dalam pengusulan Pj Bupati dan Pj Wako, daerah bahkan terpecah (dipecah?); DPRD kabupaten/kota mengusulkan nama PJ langsung ke Mendagri, Gubernur juga membuat usulan ke Mendagri. Acapkali yang diusulkan DPRD kabupaten/kota berbeda dengan usulan Gubernur, tapi bisa juga sama tergantung kepentingan.

Idealnya, mengacu pada prinsip etika pemerintahan daerah, usulan dari daerah satu paket saja, gabungan dari usulan gubernur dan aspirasi DPRD. Jangan lupa di meja Mendagri ada pula nama-nama usulan dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Masih segar dalam ingatan, dalam beberapa kali penunjukan Pj Bupati dan Pj Wako di era Gubernur Riau Syamsuar, Pj yang ditunjuk bukan nama-nama yang diusulkan Gubernur. Mungkin nama yang ditunjuk adalah usulan dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Prinsip keterbukaan, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi seperti disebut dalam Permendagri RI Nomor 4 Tahun 2023 tidak diindahkan oleh Kemendagri itu sendiri. Buktinya? Gubernur dan DPRD kabupaten/kota tidak diberitahu secara terbuka nama-nama usulan dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Daerah disuruh membeli kucing dalam karung.

Ambigu lain, Pasal 9 ayat (4) Permendagri No 4/2024, DPRD melalui ketua DPRD kabupaten/kota dapat mengusulkan 3 (tiga) calon Pj Bupati dan Pj Wako. Pasal ini diartikan oleh Ketua DPRD, pengusulan nama Pj cukup dibahas dalam Rapat Pimpinan, kemudian Ketua DPRD membuat surat. Padahal secara umum dipahami, bila disebut “DPRD mengusulkan nama”, maka berarti haruslah melalui Rapat Paripurna. Ini baru dapat disebut memenuhi kriteria keterbukaan, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi.

Pj Wako Pekanbaru telah dilantik, setuju-tidak setuju, dukung-tidak mendukung; que sera sera, what ever will be will be.  Selamat bertugas kepada Pj Wako Risnandar Mahiwa. Masalah tolak-menolak yang diberitakan berbagai media, sah-sah saja di era demokrasi ini; esensinya, daerah belum mengetahui track record PJ Wako yang ditunjuk Mendagri, sementara daerah menaruh ekspektasi tinggi terhadap  kesinambungan pembangunan dan pelayanan publik yang lebih baik di Kota Pekanbaru, masyarakat sudah lelah dengan sampah, banjir, jalan berlobang. Bila dalam tempo enam bulan belum ada progress, bersiaplah give-up, angkat koper.

Idealnya, di samping track record, Mendagri sebenarnya akan lebih elok bila mempertimbang etika moral yang menyelimuti (sosio-kultural, sosio-politik, geo-politik, etika pemerintahan, dan sebagainya). Saya tidak bermaksud mengajar itik berenang. Tapi please, pertimbangkan juga peran Riau dalam lintasan sejarah nasional, jangan pandang sebelah mata.***