OPINI CHAIDIR

Syabas Gubri Edy Natar Nasution

Rabu, 29 November 2023 - 21:11:05 WIB Cetak

Dr. drh. H. Chaidir,MM

USAH bicara tentang kepemimpinan, Gubri Brigjen TNI Pur Edy Natar Nasution sudah khatam tentang itu, sama saja menggarami air laut atau mengajar itik berenang. Pembekalan ilmu kepemimpinan, pengetahuan, pengalaman, bahkan medan pertempuran dalam arti sesungguhnya, sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari kisah perjalanan hidupnya.

Namun, menjadi BM 1 setelah hampir lima tahun menjadi bayang-bayang berada di posisi BM 2, tentu memerlukan sedikit penyesuaian pendekatan komunikasi pemerintahan, tapi itu tidaklah sulit bagi seorang Edy Natar Nasution. Dia tentu paham dua aspek komunikasi pemerintahan, yakni managing staff (inward looking) dan managing people (outward looking); bagaimana secara internal berkomunikasi dengan staf, dan bagaimana secara eksternal berkomunikasi dengan khalayak.

Yang membuat seorang pemimpin di mana pun, seringkali seperti duduk salah tegak pun salah, adalah karena tidak mudah menempatkan diri secara pas dalam era kekinian yang bergejolak (volatility), penuh ketidakpastian, sarat dengan kompleksitas berbagai masalah dan situasi yang seringkali membingungkan bahkan menyesatkan. Situasi dan kondisi seperti itu sering membuat khalayak gagal paham terhadap posisi pemimpin. Padahal, bak pepatah, “seberat-berat mata memandang lebih berat lagi bahu memikul”. Ngomong mudah tapi prakteknya tak semudah itu. Dalam versi lain, bapak demokrasi Amerika, Abraham Lincoln bilang, apa yang diinginkan pemerintah segala sesuatunya cepat selesai, apa yang dihendaki rakyat, ingin mendapatkan semua yang diinginkannya sekaligus. Ada perbedaan kepentingan antara negara yang diwakili oleh pemerintah dan rakyat yang diwakili oleh parlemen.

Pemimpin tentu harus berdiri di tengah. Kepemimpinan sebagai seni dalam menggerakkan organisasi dan masyarakat, agaknya benar seperti tesis MacGregor, teorinya banyak dan mudah, buku kepemimpinan segudang, tapi prakteknya tidak semudah teori. “Kepemimpinan adalah fenomena yang paling banyak dicermati dan dibicarakan tapi paling jarang dimengerti” (James MacGregor dalam Priadana, 2013). Hegel menambah kegalauan kita, ketika menduga apa yang kita kenal belum tentu dimengerti secara logis. Di sinilah menariknya tantangan fenomena kepemimpinan itu.

Apalagi konteks kepemimpinan domestik (termasuk lokal, daerah) di segala sudut di planet ini telah dibumbui konteks kepemimpinan global dalam dunia tanpa batas (borderless, seperti disebut Keniichi Ohmae). Riau adalah sebuah daerah yang berbatasan langsung dengan jendela dunia seperti Singapura dan Malaysia. Dan di Riau banyak perusahaan-perusahaan multinasional yang pekerjanya lintas negara dan lintas budaya. Di sinilah visi kepemimpinan global itu tak dapat dielakkan.

Sebuah teori kepemimpinan yang sudah baku misalnya, tak lagi bisa digunakan pada tempat dan situasi yang berbeda. Seorang pemimpin yang sukses menjadi pemimpin puncak di lembaga A belum tentu sukses pada posisi yang sama di lembaga B. Sebab, setiap organisasi memiliki ciri khusus, unik; beda lingkungan, pejabat/pengurus, anggota, watak, dan perilaku, harus dihadapi dengan perilaku kepemimpinan beda pula, apalagi menyangkut lintas budaya.

Berbagai krisis yang tengah kita hadapi sekarang ini, yakni krisis ekonomi, politik, disintegrasi, moral, kepercayaan, budaya, lingkungan dan sebagainya, berkorelasi erat dengan krisis persepsi kepemimpinan (Sidik Priadana, 2013). Persepsi kepemimpinan memang menjadi salah satu bagian penting dari abad ke-21 (Century Skill). Ada delapan skill kepemempinan abad ke-21 yang dinilai sangat relevan dengan kesuksesan, yang pertama dan utama adalah skill kepemimpinan itu sendiri. Lainnya adalah skill literasi digital, komunikasi, kecerdasan emosional, kewiraswastaan, kewarganegaraan global, pemecahan masalah (problem solving), dan bekerja dalam tim (Person-Learning Curve Report, 2014).

Namun, tak usah pusing dengan teori-teori tersebut. Dalam perspektif etika dan budaya Melayu, hanya ada dua agenda kepemimpinan, yang pertama menyejahterakan rakyat, kedua memberi keteladanan. Pemimpin dalam budaya Melayu harus menjadi role model (teladan). Ini seirama dengan pendapat Meyer (2012), “leader creates the culture”. Pemimpin itu membentuk budaya organisasi. Ringkasnya pemimpin itu adalah teladan.

Kita bersimpati terhadap Gubri Edy Natar Nasution, sang nakhoda yang harus melayarkan kapalnya di tengah badai. Kita-kita yang berada dalam kapal ini harus memberi semangat dan dukungan penuh bagi sang nakhoda. Kita paham, tempo dua bulan terlalu singkat bagi Gubri Edy Natar Nasution untuk membangun sebuah candi sebagai ligacy peradaban, tapi dua bulan tak terlalu singkat untuk menyemai benih ligacy tegak lurus menjulang Marwah. Syabas Gubri Edy Natar Nasution. Do the best.***

*) Penulis dan tokoh Masyarakat Riau



Tulis Komentar +
Berita Terkait+