Wakil Rakyat atau Wakil Parpol?

Selasa, 08 Oktober 2024 - 11:31:18 WIB Cetak

Oleh Chaidir

WAKIL rakyat dijamin, tak ada yang ingin jadi rakyat, yang terjadi justru sebaliknya, rakyat ingin jadi wakil rakyat. Mengapa? Karena wakil rakyat itu kedudukannya istimewa. Dalam forum-forum resmi, wakil rakyat ini dipanggil Anggota Dewan Yang Terhormat. Di negara tetangga kita, Malaysia, Anggota Dewan Undangan Negeri (setara DPRD Provinsi) dipanggil YB (Yang Berhormat); Anggota Parlemennya (DPR), dipanggil YAB (Yang Amat Berhormat). Keistimewaan lain, dalam kedudukan Anggota Dewan (DPR atau DPRD), negara memberi hak-hak protokler dan hak keuangan kepada para wakil rakyat ini.

Dalam sistem perwakilan politik (bukan perwakilan fungsional seperti Anggota Dewan Perwakilan Daerah – DPD), rakyat memberikan haknya kepada wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilu. Dalam sistem perwakilan politik, wakil-wakil rakyat yang dipilih tersebut diproses melalui partai politik. Parpol memiliki otoritas untuk menentukan calon wakil rakyat.

Seperti diketahui, seluruh wakil rakyat terpilih hasil pemilu legislatif 14 Februari 2024 telah resmi dilantik. Para wakil rakyat ini sah menyandang predikat Anggota Dewan Yang Terhormat.  Kini pedang kekuasaan legislatif (legislative power) berada di tangan wakil rakyat, pada saat yang sama beban tanggungjawab yang berat juga terpikul di pundak. Maka saatnya kini, seluruh kapasitas terpasang kompetensi dan akal budi, juga komitmen wakil rakyat, harus dikerahkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Sejak dilantik, argometer kinerja wakil rakyat, mulai jalan, begitulah ibaratnya. Rekam jejak atau jejak digital para wakil rakyat mulai digoreskan. Rekam jejak itu sifatnya irreversible, tak bisa dihapus atau diubah. Dalam kecanggihan IT sekarang, semua jejak digital tersimpan di awan dalam konsep cloud computation. Fenomena buka-bukaan aib para kandidat dalam kontestasi pilkada serentak 2024 misalnya, berawal dari kepiawaian masing-masing tim sukses mengulik jejak digital kontestan dengan maksud mencari kelemahan lawan. Rakyat pun sekarang mengulik jejak digital wakilnya, tak ada sesiapa yang bisa melarang.

Derajat keterikatan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya adalah pangkal positioning seorang wakil rakyat. Pertanyaan yang sering mengemuka adalah, anggota dewan yang terhormat itu, wakil rakyatkah  atau wakil parpol? Dalam sebuah bacaan klasik, Gilbert Abcarian (1970) mengelompokkan hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya, dalam empat model: pertama, model wali (trustee), si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya;  kedua, model utusan (delegate), kebalikan dari yang pertama, sang wakil mengikuti instruksi dari yang diwakilinya; ketiga, model politico, kadang-kadang sang wakil bertindak sebagai wali kadang-kadang sebagai utusan; dan keempat, model partisan, si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai politiknya. Dalam model partisan ini, setelah si wakil terpilih dalam pemilu, maka lepaslah hubungannya dengan rakyat pemilihnya, dan mulailah hubungan si wakil dengan parpol yang mencalonkannya. Jadi, anggota dewan kita, wakil rakyatkah atau wakil parpol? Terserahlah. Agaknya identik dengan pertanyaan, duluan mana ayam dan telor. Premisnya, tak ada parpol kalau tak ada rakyat, tak ada wakil rakyat kalau tak ada parpol.

Mengacu Abcarian, termasuk model hubungan seperti apakah antara si wakil dengan rakyat yang diwakilinya dalam demokrasi liberal proporsional terbuka di negeri kita sekarang?  Opsi pertama, barangkali kombinasi keempat model hubungan sekaligus; atau opsi kedua, tidak keempat-empatnya; atau opsi ketiga, hubungan si wakil dengan rakyat yang diwakili, baik-baik saja, yang penting bila si wakil turun reses bawa buah tangan, habis perkara.  Padahal kegiatan reses si wakil yang dibiayai negara itu adalah untuk menyerap aspirasi rakyat yang diwakilinya kemudian memperjuangkannya menjadi kebijakan publik menyejahetrakan rakyat. Yang diperjuangkan sungguh-sungguh  aspirasi rakyat yang diwakili, bukan aspirasi si wakil (kepentingan pribadi) yang diatasnamakan aspirasi rakyat.

Berbagai pemberitaan kasus penyalahgunaan wewenang di lembaga legislatif, telah membuat wajah lembaga perwakilan kita coreng-moreng. Dan ini tentu saja menurunkan kredibilitas dan menimbulkan social distrust (ketidakpercayaan sosial). Dalam iklim seperti itu maka pertanyaan apakah anggota dewan itu “wakil rakyat atau wakil parpol” tak lagi penting, yang mendesak adalah, si wakil harus mampu berbuat mengangkat kembali marwah lembaga untuk mengembalikan kepercayaan publik. Caranya, baca dan kuasai serta laksanakan dengan baik fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang melekat pada lembaga perwakilan tersebut. Di daerah, fungsi-fungsi lembaga perwakilan tersebut dilaksanakan dengan memahami, bahwa lembaga perwakilan rakyat adalah mitra sejajar eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan dan Pembangunan. Sang wakil rakyat harus menunjukkan good competency, akhlak mulia dan tekad yang kuat untuk berbuat yang terbaik dan menjaga nama baik. Yakin usaha sampai.***

Penulis, Dr. drh. H. Chaidir, MM, Ketua DPRD Riau dua periode (1999-2008); Ketua Umum Forum Komunkasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR).



Baca Juga Topik #riau+
Tulis Komentar +
Berita Terkait+