Oleh Chaidir
(Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)
PANGGUNG debat televisi pilgub 2024 terasa sepi drama. Tak ada adegan-adegan yang menggemaskan atau menggeramkan, atau belokan-belokan tajam yang membuat penonton tahan nafas. Padahal, dinamika persaingan antara masing-masing kontestan beserta tim pemenangannya di lapangan, apalagi di medsos, setiap hari terasa panas, dan berpotensi menjanjikan perdebatan sengit di debat televisi. Ternyata beda.
Bila kita memaknai debat kandidat tersebut sebagai ajang adu konsep, gagasan sang kandidat, atau adu pola pikir, yang dimaksudkan untuk menggali kedalaman sebuah konsep, atau adu gagasan inovatif cerdas, kita boleh kecewa. Debat televisi beberapa hari lalu, ibarat malam sepi bintang. Para kandidat belum nampak mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Harusnya bisa lebih atraktif lagi mempertontonkan kemampuan dan penampilannya.
Format debat agaknya layak jadi kambing hitam, sehingga debat kandidat tidak mencapai titik klimak sebagai sebuah kampanye politik. Format debat terlalu kaku dengan pengaturan waktu yang terlalu sempit, lalu-lintas pembicaraan juga, rigid, rumit dan ketat. Mekanisme debat tidak memungkinkan seorang kandidat bisa mempresentasikan visi misi dan program prioritasnya secara optimal, juga tidak memungkinkan mereka mengekspresikan kemampuan terbaiknya.
Kalau format debat terlalu ketat, maka debat tidak akan efektif sebagai sebuah pendidikan politik. Bagi kandidat, penguasaan panggung yang hebat sebenarnya berguna untuk mempublikasikan dirinya dan pemikiran-pemikiran cerdasnya. Sekaligus uji mental dan uji kematangan emosi. Debat kandidat adalah ujian good competency, kapasitas, kapabilitas, dan kematangan emosional seorang pemimpin. Dignity atau harga diri, yang merupakan aspek penting dalam diri seorang pemimpin akan terlihat dalam debat. Pasca debat diharapkan ada ketertarikan masa mengambang (swing voters) untuk pro kepada sang kandidat yang tampil mengesankan (impressive).
Masalahnya, di negeri kita debat kandidat di televisi tak berpengaruh signifikan dalam membentuk sikap publik, tak mengubah persepsi penonton televisi terhadap kandidat. Hampir sebagian besar penonton sudah punya pilihan sebelum menyaksikan debat. Penonton lebih banyak berperan sebagai supporters bagi kandidatnya masing-masing, hal itu terlihat dari sorak-sorai yel-yel, atau gimmick politik dari kelompok pendukung fanatik.
Beda dengan debat televisi pilpres di AS, yang biasanya hanya menampilkan dua kandidat, sehingga head to head untuk saling uji ketajaman program. Debat televisi sangat berpengaruh pada elektabilitas calon. Misalnya, debat pilpres AS pada 26 September 1960, debat televisi pertama di dunia dan disaksikan oleh 74 juta rakyat AS, yang berlangsung antara calon incumbent Richard Nixon vs John F Kennedy. Pagi hari pada tanggal 26 September, John F. Kennedy senator muda dari negara bagian Massachussetts, relatif belum terkenal, dan belum siapa-siapa dibanding Richard Nixon. Tapi sore harinya pasca debat, Kennedy sudah menjadi bintang dan menjadi kekasih media karena di mata publik dia tampil sangat mengesankan dalam debat tersebut. Kayla Webley, menulis sebuah artikel menarik yang dimuat www.time.com (23/9/2010). Sejarah mencatat, berdasarkan pendengar radio, debat tersebut dimenangkan oleh Nixon. Tetapi pada 1960 itu, 88% rakyat Amerika memiliki televisi di rumahnya. Jumlah penonton televisi untuk acara debat tersebut diperkirakan mencapai 74 juta dan umumnya menyebut Kennedy menang mutlak.
Beberapa Calon Presiden AS terpilih pada masanya, seperti Ronald Reagen, Bush, Clinton, Obama, Donald Trump, adalah mereka yang memenangkan debat kandidat menurut survei cepat melalui telepon ke seantero Amerika yang dilakukan oleh konsultan terpercaya sesaat setelah debat selesai. Pemilih di AS umumnya baru menjatuhkan pilihannya setelah menyaksikan debat sesi terakhir.
Di samping melihat visi dan ketajaman program capres, dalam debat televisi publik di AS juga memberi penilaian terhadap olah verbal, olah vokal, dan olah visual dari masing-masing kandidat. Ketiga aspek tersebut, menurut pakar komunikasi Prof Mehrabian merupakan aspek penting yang menentukan suksesnya komunikasi. Mehrabian memberi rumus terkenal 7:38:55, yakni olah verbal (kata-kata atau bahasa yang terucap) memberi pengaruh 7%, olah vokal (intonasi suara) memberi pengaruh 38% dan olah visual (ekspresi wajah atau bahasa tubuh) pengaruhnya 55%. Oleh karena itu, debat televisi kandidat presiden di AS bisa mengubah sikap pemilih.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Debat televisi calon gubernur di negeri kita kelihatannya tak begitu berpengaruh terhadap sikap pemilih. Tidak ada lembaga survei independen yang secara khusus memotret sikap pemilih sebelum dan sesudah debat. Mungkin karena debat bukan dianggap sebagai ukuran elektabilitas kandidat. Atau sekurang-kurangnya publik tidak bisa memperoleh gambaran yang lebih jelas karena sang kandidat tidak bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya melalui debat yang format aturan mainnya sangat ketat. Di samping itu para pakar kita yang duduk sebagai panelis, agaknya perlu mempersingkat narasi pengantar untuk setiap pertanyaan.
Dengan format debat yang sangat ketat terbatas, memang diperlukan kemampuan retorika tingkat dewa untuk menyampaikan pokok pikiran secara sederhana dan menarik. Kita tunggu debat selanjutnya, jangan kemana-mana.***