Oleh Chaidir
LANCAR kaji karena diulang. Menurut beberapa ulama, sudah menjadi tabi’at manusia atau insan, bahwa manusia mudah melupakan sesuatu, dan biasanya baru teringat serta menyadari apa yang dilupakan itu, ketika manusia berada dalam kondisi dan situasi sulit atau krisis.
Legenda Perdana Menteri Malaysia, Dr Mahathir Mohamad menulis sajak yang disampaikannya dalam Perhimpunan Agung UMNO (Kongres Nasional UMNO) tahun 2001 di Kuala Lumpur yang diberi judul “Melayu Mudah Lupa” sebagai wujud kegalauannya terhadap krisis perilaku sosial Melayu Malaysia. Menutup sajaknya sepanjang 37 baris, Dr Mahathir Mohamad menulis:
“...............
ingatlah
Wahai bangsaku
Jangan mudah lupa lagi
Kerana perjuanganmu belum selesai...”
Berbagai krisis yang tengah kita hadapi sekarang ini, yakni krisis ekonomi, politik, etika moral, berkorelasi erat dengan krisis persepsi kepemimpinan (Sidik Priadana, 2013). Peter Drucker (2006) sebelumnya menyebut, “There is never underdeveloped country there is always undermanaged country”. Tidak pernah ada negeri yang terbelakang, melainkan negeri yang salah urus. Terma salah urus itu tidak konotatif, maknanya jelas, limitatif.
Krisis kepemimpinan di pusat dan di daerah sama saja. Menurut James MacGregor Burns (1978), “Fenomena kepemimpinan adalah fenomena yang paling banyak dicermati, namun paling jarang dimengerti.” Tapi menurut Burns, pemahaman terhadap konsep kepemimpinan bukan karena lupa akibat tersimpan dalam memori dan tak pernah digunakan, melainkan karena kepemimpinan itu tergantung situasi dan kondisi, adakalanya ambigu. Godaan tahta seringkali mengetepikan akal budi. KKN yang dijadikan musuh bersama dalam reformasi, belum tertundukkan. Korupsi yang awalnya disebut “extra ordinary crime” (kejahatan yang luar biasa), kini menjadi biasa saja. Politik dinasti pula tak lagi malu menampakkan diri, bahkan memalukan. Oligarki main hantam kromo. Apa hendak dikata.
Oleh karena itulah ketika pasangan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota terpilih dalam pilkada serentak pada 27 November 2024 beberapa hari lalu resmi ditetapkan oleh KPU, dan akan menakhodai negeri Melayu ini ke depan, kita perlu bersama-sama mengulang kaji. Kita baca ulang norma-norma kepemimpinan dalam buku tunjuk ajar budaya Melayu, kita lawan sindrom mudah lupa yang menimbulkan krisis kepemimpinan seperti disebut Dr Mahathir Mohammad. Kita tak mau negeri ini salah urus sebagaimana ditulis Peter Drucker.
Dalam perspektif budaya Melayu, pemimpin atau nahkoda di negeri Melayu itu hanya memiliki dua agenda. Pertama, menyejahterakan rakyatnya; kedua, pemimpin memberi teladan. Kelihatannya sederhana, tapi mengandung banyak nilai-nilai dan norma-norma tunjuk ajar budaya Melayu. Tugas menyejahterakan menuntut pemimpin harus memiliki good competency, pemimpin yang mampu membaca bintang di malam kelam agar kapal tak karam; dan mampu membaca karang di dasar samudra agar kapal tak tersadai. Agenda kedua, menjadi teladan, sang pemimpin harus memiliki integritas terpuji, sehingga mampu menegakkan harga diri atau Marwah untuk diteladani oleh rakyat.
Karakter yang terdapat dalam buku “Pemimpin dalam Ungkapan Melayu” karya Tenas Effendy (2014), menyebutkan 55 karakter kepemipimpinan Melayu yang mesti dimiliki seorang pempimpin. Kelimapuluh lima karakter tersebut dapat dikelompokkan pada empat karakter yaitu amanah, siddiq, fathonah, dan tablig.
Raja Ali Haji dalam karyanya “Tsamarat al-Muhimmah” (1858) menjelaskan, kejayaan seseorang pemimpin diukur sekaligus diuji dan dapat dipertanggungjawabkannya dunia akhirat, bila memenuhi konsep tritunggal: khalifah-sultan-imam. Makna simbolik ‘khalifah’ adalah kewajiban mendirikan agama berdasarkan al-Qur’an, sunnah nabi, dan ijmak. Pemimpin sebagai ‘sultan’ bermakna kewajiban menegakkan hukum secara adil berdasarkan pedoman Allah dan rasul-Nya. Dalam kandungan makna ‘imam’, pemimpin harus berada paling depan di dalam situasi apa pun, sehingga menjadi ikutan semua orang di bawah kepemimpinannya.
Guna memenuhi konsep tersebut, seorang pemimpin di negeri Melayu wajib memiliki “pakaian batin” yang lazim disebut sifat dan kepribadian terpuji yang senantiasa melekat dalam dirinya. Pakaian batin tersebut adalah kejujuran, ketaatan pada aturan, akal budi, keteladanan, keelokan, kelapangan hati, kesederhanaan, menenggang rasa, kesabaran dan keuletan.
Jangan lupa, di samping wajib memiliki “pakaian batin”, Tenas Effendy (2014) menambahkan, sebagai pemimpin hatinya jantan; gagahnya tidak memilih lawan; setianya patut dijadikan kawan; beraninya dapat jadi andalan; dada berisi dibalut iman; hati jujur berbelas kasihan; rakyat sejahtera hidup dan nyaman. Seorang pemimpin diharuskan mempunyai sifat berani melakukan sesuatu demi kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Termasuk dalam menegakkan keadilan dan kebenaran yang tak dapat ditawar-tawar. Pemimpin yang dianggap tidak adil dan menyimpang dari kebenaran, wajib diingatkan, disanggah, atau bahkan diganti. Keberanian membentuk kepempimpinan yang berwibawa, berintegritas, dan disegani oleh rakyat. Raja alim raja disembah raja zalim raja disanggah. Selamat bertugas untuk pemimpin yang akan segera duduk di singgasana. Jangan lupa mengulang kaji. Syabas!***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)