Oleh H. Chaidir
Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)
PALU hakim Mahkamah Konstitusi RI telah diketuk: menolak permohonan sengketa hasil Pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres 2024) yang diajukan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Keputusan MK final dan mengikat. Artinya, sekali palu diketuk tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa seperti banding atau kasasi, kecuali mematuhi dan melaksanakan putusan MK. Mengapa MK diberi kewenangan yang demikian besar? Karena MK adalah simbol dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan sudah mengklaim diri sebagai negara hukum. MK punya kewenangan strategis menjaga konstitusi, mengawal demokrasi dan menegakkan pilar negara hukum. UUD 1945 menjamin bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir semua perkara yang menjadi kewenangannya. Begitu hebatnya kewenangan yang diberikan konstitusi.
Dengan telah diketuknya palu maka apapun yang akan terjadi, terjadilah; what ever will be, will be; que sera sera. Palu godam atau palu emaskah yang diketukkan itu? Biarlah perjalanan waktu yang akan menentukan. Namun pengadilan lain, kegaduhan perdebatan di luar gedung tentang etika moral, seperti konsep ruang terbuka (public sphere) Juergen Habermas, agaknya belum akan segera berakhir. Etika moral adalah cermin dari kualitas manusia sebagai manusia (entah pemimpin, hakim, advokat, atau rakyat biasa). Pada posisi MK, menempatkan etika moral dalam setiap keputusan pengadilan sangatlah penting, sebab MK adalah benteng keadilan terakhir, sebuah lembaga yang sangat terhormat dalam menjaga supremasi hukum.
Kita alihkan sejenak kegaduhan Pilpres 2024 dalam perspektif lain. Bagaimana pun, the game is over; pluit panjang sudah berbunyi. Mari kita sekejap inward looking. Introspeksi. Mari kita coba gali akar masalahnya. Bukalah mata (tak usah lebar sangat); dan nyalakan fitur akal pikiran; itu sudah cukup untuk memahami gejala sosial kekinian masyarakat kita. Artinya, tak perlu seorang sosiolog terkenal sekelas Auguste Comte, Émile Durkheim, Max Weber, Ibnu Khaldun, Erving Goffman, atau Anthony Giddens, atau Selo Soemardjan, untuk melihat fenomena ambiguitas, alias kebingungan sosial yang terjadi.
Gejala umum: ada janji, janji mudah diingkari; ada sumpah, sumpah mudah dilanggar; ada kewenangan, kewenangan mudah dilampaui; ada kekuasaan, kekuasaan mudah disalahgunakan; ada pengadilan tapi jauh dari keadilan; ada hukuman tapi tak menjerakan; kebenaran dan pembenaran dianggap saudara kembar siam. Bila itu dilakukan oleh para pemimpin yang sepatutnya memberi keteladanan, maka masyarakat akan kehilangan keteladanan. Masyarakat yang kehilangan keteladanan akan mengalami keputusasaan sosial dan ketiadaan norma dalam kehidupan.
Keadaan yang kita alami agaknya mendekati apa yang definisikan Emile Durkheim sebagai masyarakat anomie; ia mendeskripsikan anomie sebagai "kekacauan" dan "keinginan yang tak terpuaskan". Hasrat tanpa batas tidak akan pernah terpenuhi, melainkan hanya akan menjadi semakin kuat dengan ketiadaan norma. Ketidakhadiran norma sosial menjadi alasan mengapa seseorang melakukan penyimpangan sosial yang menyebabkan munculnya dampak negatif seperti misalnya, tak merasa berdosa menyalahgunakan wewenang, tak merasa bersalah mengkhianati amanah.
Siapa dan kemana hendak kita gugat atas ketidakhadiran norma sosial itu? Leaders creates culture (Meyer’s). Pemimpin itu membentuk budaya organisasinya. Seperti apa pemimpinnya seperti itulah pengikutnya. Pemimpin dan yang dipimpin adalah manusia. Jadi, manusialah yang menjadi akar masalahnya, manusialah yang harus kita gugat.
Dalam perspektif Islam, mumpung semangat bulan suci Ramadan masih terasa segar, ketika kita banyak melakukan kontemplasi dan introspeksi, dialektika politik yang terjadi di Tanah Air menarik untuk kita renungkan. Manusiakah yang perlu kita gugat? Digugat kemana? Ke langit? Stop. Manusia adalah mahkota penciptaan, begitu ditulis Ismai’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi dalam bukunya The Cultural Atlas of Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (2001). Manusia telah diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, diberi akal dan pikiran. Filsuf Aristoteles menyebut manusia itu homo sapiens, makluk pemikir.
Nilai ideal manusia dalam AlQuran, seperti ditulis Al-Faruqi, adalah, manusia itu bebas dan memiliki kekuasaan tak terbatas, namun dia harus bertanggungjawab, atau dia akan kehilangan martabat dan posisinya sebagai mahkota penciptaan atau sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Kata kuncinya adalah moral; dan manusia pada akhirnya dinilai berdasarkan kepatuhannya kepada hukum moral. Aturlah dunia ini oleh kamu manusia sebagai Wakil Allah, seakan-akan dunia ini abadi. Isilah dunia ini dengan taman, isi dengan orang-orang yang sehat dan kuat, didik manusia agar banyak jadi ilmuwan, pahlawan, ulama, dan melakukannya dengan kemerdekaan dan aturan moral.
Menurut AlQuran, seperti ditulis Al-Faruqi, kebenaran ada dapat diketahui; kepalsuan tak pernah berakhir, tetapi selalu dapat diatasi dengan pengetahuan yang labih baik. Seribu palu boleh diketuk, tak masalah. Kapasitas untuk mengetahui kebenaran ini ada pada semua manusia. Kebenaran itu universal. Maka, Pemilu, Pilpres 2024, pengadilan MK merupakan pelajaran yang sangat berharga sekaligus ujian bagi manusia sebagai mahkota penciptaan Yang Maha Kuasa. Buruk rupa jangan cermin hendak dipecah.***