Oleh Chaidir
PARTAI NasDem diajak bergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM), tapi menolak duduk di kabinet yang dibentuk oleh presiden terpilih Prabowo Subianto. Begitu sikap Surya Paloh Ketua Umum Partai NasDem, seperti diberitakan berbagai media. Sikap tersebut tentu saja mengundang tanya, apa yang terjadi?
Dari sudut pandang baper-baperan, mungkin Surya Paloh merasa malu hati karena NasDem tidak mendukung Prabowo dalam Pilpres 2024; atau mungkin negosiasi tak sesuai ekspektasi, misalnya jumlah jatah menteri yang diminta tak sesuai harapan; atau mungkin tak terdapat kesepakatan untuk penempatan calon menteri di kementerian; atau barangkali Prabowo – Surya Paloh (yang baru gabung di KIM, pasca Pilpres 2024), pagi-pagi sudah pecah kongsi; atau mungkin juga proposal Surya Paloh untuk rencana ke depan (2029) ditolak secara halus oleh Parbowo. Itu asumsi-asumsi, kita tak tahu apa sesungguhnya yang ada dalam pemikiran Prabowo dan Surya Paloh.
Dari kejauhan kita meneropong dan membaca, Surya Paloh agaknya sedang memperagakan kepiawaiannya dalam bermain politik. Beberapa asumsi misalnya, NasDem diajak, bukan minta bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju. Diajak gabung dan minta gabung, secara psikologis positioning-nya tentu beda. Dalam posisi demikian bagi Surya Paloh, nothing to lose (kira-kira maksudnya, tak ada beban). Asumsi berikutnya, Surya Paloh barangkali berjiwa besar dengan tidak mengirimkan beberapa nama kader NasDem sebagai calon menteri kabinet seperti diminta Prabowo. Surya Paloh menolak, bukankah NasDem menjagokan Anies Baswedan, bukan Prabowo dalam Pilpres 2024? Tak enak hati, mungkin begitu. Seperti diungkapkan Saan Mustopa Wakil Ketua Umum NasDem, secara etika politik NasDem tahu diri, beri kesempatan kepada partai-partai koalisi pendukung Prabowo-Gibran untuk mengisi komposisi menteri di kabinet. Bila benar NasDem tulus seperti disebut Saan Mustopa, kita acungkan jempol.
Sebab sebenarnya, pantun partai politik dalam politik praktis adalah merebut kekuasaan. Seperti ditulis pakar ilmu politik Prof Miriam Budiarjo, tujuan partai politik itu adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusional. Terbentuknya KIM tidak melanggar aturan, termasuk ketika kemudian partai-partai yang bergabung dalam KIM mendapatkan jatah menteri di kabinet. Itu sah. Sah juga bagi kader NasDem untuk mengisi beberapa pos Menteri bila mereka gabung di KIM. Begitulah lazimnya dalam dunia politik. Tetapi ketika NasDem menyebut mengedepankan etika moral dalam berpolitik, berlapang dada karena merasa ada pihak lain yang lebih berhak, inilah yang disebut dengan high politics menurut Amien Rais (1998).
Surya Paloh paham betul bahwa pengangkatan menteri kabinet adalah hak prerogatif Presiden. Bila Prabowo memberi tempat bagi kader NasDem untuk duduk di kabinet, itu sah-sah saja, itu hak Presiden Prabowo, tak perlu menunggu usulan dari NasDem. Bila ini dilakukan Presiden Prabowo, Surya Paloh bersama NasDem posisinya ‘lenggang kangkung’, tidak memikul tanggungjawab moral yang berat. Artinya, Kalau misalnya kinerja kader NasDem yang ditunjuk Presiden itu bagus, NasDem dapat nama. Tapi bila kinerjanya kurang bagus, NasDem akan berlepas tangan, karena bukan NasDem yang mengusulkan.
Pada sisi lain, Surya Paloh menyebut, NasDem mendukung penuh pemerintahan Prabowo-Gibran tanpa syarat. Tapi pada saat yang sama Surya Paloh menolak kader NasDem duduk dalam kabinet. Menurut NasDem, memberi kontribusi berupa pokok-pokok pikiran yang bernas kepada pemerintahan Prabowo-Gibran, jauh lebih penting daripada masuk sebagai menteri kabinet tapi tak bisa berbuat maksimal. Berpikir substansial memang lebih bagus daripada hanya mengejar simbol-simbol kekuasaan. Sepanjang substansi pokok pikiran yang diajukan tersebut bagus, maka diterima atau tidak diterima oleh pemerintah, tak merugikan NasDem.
Namun dalam sistem kepartaian multipartai pasca reformasi, belum ada model sistem politik seperti yang ditawarkan NasDem: mendukung tanpa syarat tapi menolak duduk dalam kabinet. Kelazimannya adalah partai pendukung pemerintah pasti dapat jatah menteri kabinet. Take and give. Bargaining politik yang umum berlaku, di sana senang di sini senang.
Ada contadictio in terminis dalam sikap NasDem. Entah seperti apa nanti skema hubungan NasDem dengan Pemerintah dan partai-partai yang berkuasa (the rulling party). Bila NasDem bermaksud menjadi partai penyeimbang dalam proses demokrasi, rasanya kurang pas karena NasDem telah menyatakan mendukung pemerintah Prabowo-Gibran tanpa syarat, apalagi menjadi partai opoisi, tidak akan bisa banyak bicara di parlemen.
Sulit membaca Surya Paloh. Atau barangkali Surya Paloh bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan pembicaraan antara Parbowo Subianto dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kita songsong sajalah pelantikan Prabowo-Gibran, dan kita tonton drama panggung politik Prabowo-Surya Paloh-Megawati adu kepiawaian.***
Penulis, Dr. drh. H. Chaidir, MM, Ketua DPRD Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)