Menyala Jenderal

Rabu, 23 Oktober 2024 - 09:36:02 WIB Cetak

Oleh Chaidir

APA beda Prabowo Subianto dengan Winston Churchill? Bedanya, yang satu Presiden RI ke-8, yang satunya lagi Perdana Menteri Inggeris legendaris di masa Perang Dunia II. Persamaannya, keduanya sama-sama Jenderal yang terjun ke dunia politik. Keduanya adalah orator yang bisa menyampaikan pidato menyala berapi-api. Menyala Jenderal.

PM Churchill yang terkenal itu pernah menyampaikan pidato di depan mahasiswa Universitas Oxford di Inggeris hanya mengucapkan tiga kata yang luar biasa dan memberi inspirasi pada banyak jiwa dan membakar semangat tentara Inggeris untuk mengalahkan pasukan Jerman dalam Perang Dunia II. Kata-kata itu adalah “Never Give Up”. Jangan pernah menyerah. Pidato ini dikenal sebagai pidato terpendek dalam sejarah dan membuat Chruchill dikenang. (Aribowo Suprajitno Adhi, dikutip dari buku Sangguru Bertutur tentang Kehidupan).

Pidato perdana Presiden Prabowo yang disampaikan di hadapan 19 Kepala Negara/Pemerintahan dan para Utusan Khusus maupun Duta Besar Negara Sahabat yang menghadiri acara pelantikan Presiden R.I di Gedung MPR RI, selain disampaikan secara berapi-api, juga menampilkan jiwa patriotisme dan nasionalisme seorang parjurit TNI. Jenderal Prabowo adalah seorang prajurit TNI yang di setiap tarikan nafasnya dan di setiap sel darahnya, hanya ada merah-putih. Sebagai seorang Jenderal TNI, maka Sumpah Prajurit dan Sapta Marga adalah harga mati. Parjurit TNI adalah kesatria yang membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. Sebagai seorang patriot sejati, bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya atau semangat cinta tanah air.

Andai pidato yang berapi-api itu bisa diringkas, Sang Jenderal sebenarnya menginspirasi, memotivasi dan mengajak masyarakatnya: “junjung harga diri”. Marwah atau harga diri (dignity) hanya bisa kita tegakkan dengan menjaga kejujuran, membangun prestasi cemerlang, gemilang dan terbilang; mampu beradaptasi dan tidak pernah menyerah menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan, serta menjadi orang yang komit, satu kata dan perbuatan, kalau berjanji tidak ingkar, kalau berkata tidak bohong. Hal ini tersirat dalam salah satu paragraf pidato Presiden Prabowo:

“Kita harus menghadapi kenyataan bahwa masih terlalu banyak kebocoran penyelewengan korupsi di negara kita. Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita, cucu-cucu kita. Kita harus berani mengakui terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari anggaran kita, penyimpangan-penyimpangan, kolusi di antara para pejabat politik, pejabat pemerintah di semua tingkatan, dengan pengusaha-pengusaha yang nakal, pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik.”

“Pimpinan harus memberi contoh, ing ngarso sung tulodo. Ada pepatah yang mengatakan kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala. Semua pejabat dari semua eselon dari semua tingkatan harus memberi contoh untuk menjalankan kepemimpinan pemerintahan yang sebersih-bersihnya. Mulai contoh dari atas dan sesudah itu penegakan hukum yang tegas dan keras.”

Saya mencatat paragraf ini merupakan ekspresi jiwa patriot, jiwa kesatria, dan jiwa keperwiraan yang menyala dalam jiwa Sang Jenderal, yang sepertinya sudah lama terpendam. Sekaranglah saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Dan apa yang diungkapkannya merupakan suara hati nurani seorang perwira tinggi yang memikul beban berat tanggung jawab moral di pundaknya. Kesadaran atas moral obligation dalam diri Presiden Prabowo, membuat masyarakat memiliki eskpektasi besar, harapan besar, ke depan bangsa ini akan diurus secara benar. Dan karena pidato yang menyala ini disampaikan oleh seorang Jenderal, kita patut percaya dan kita pun menyala.

“Junjung harga diri” akan membawa bangsa ini kembali ke lintasan yang benar, membangun kepercayaan sosial (social distrust), karena oleh beberapa pengamat, bangsa kita termasuk dalam kelompok low trust society, masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang rendah. Dan membangun kepercayaan sosial itu dimulai dari keteladanan yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Urban Meyer menulis, Leaders create culture, pemimpin membentuk budaya masyarakatnya. Masyarakat menyontoh pemimpinnya. Dengan keteladanan dalam menjunjung harga diri, sang pemimpin akan bisa mengajak masyarakatnya membela kejujuran, kebenaran dan keadilan, tidak melakukan hal-hal yang tidak patut. Hal ini sebenarnya sudah sejalan dengan tunjuk ajar Melayu Riau, pemimpin itu hanya memiliki dua agenda saja, pertama, meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya; kedua, memberi keteladanan.

Maka wajar, bila kita membalik lembaran pilpres, masyarakat Riau memberi mandat besar kepada Prabowo. Dalam dua kali pilpres, masyarakat Riau selalu memenangkan Prabowo. Pada Pilpres 2019,  Prabowo - Sandiaga Uno memperoleh suara 1.975.287 suara (61,26 persen dari suara sah), mengalahkan Pasangan Joko Widodo - Ma’ruf Amin yang hanya memperoleh 1.248.713 suara (38,49 persen dari suara sah). Pada Pilpres 2024 Prabowo-Gibran menempati posisi teratas dengan perolehan 1.931.113 suara (51,5 persen dari suara sah), mengungguli Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin yang mendapatkan 1.400.093 suara (37,3 persen) dan Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang hanya memperoleh 357.298 suara (9,5%).

Pesan-pesan pidato menyala sang Jenderal, harus mampu dipahami dan diterjemahkan oleh para Menteri Kabinet Merah-Putih, dan kita semua, untuk bangkit menjunjung marwah, atau kita semua akan kehilangan harga diri.***

Penulis, Dr. drh. H. Chaidir, MM Ketua DPRD Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)

 



Baca Juga Topik #nasional+
Tulis Komentar +
Berita Terkait+